![]() |
| M. Subhan Setowara, S.H.I., M.A., Direktur RBC Institute A. Malik Fadjar saat menjadi narasumber pada DANA III Jawa Timur |
nasyiahjatim.or.id—Masalah sering kali tidak datang dengan wajah genting, melainkan menyamar sebagai kebiasaan. Ia hidup berdampingan dengan kita, diterima; bahkan dinormalisasi hingga perlahan berubah menjadi krisis.
Di ruang inilah kepemimpinan perempuan diuji. Bukan
sekadar keberanian bersuara; tetapi kecakapan membaca masalah, kepekaan
mengurai krisis, dan kebijaksanaan menentukan keputusan.
Kesadaran inilah yang
menjadi ruh refleksi dalam materi Problem Solving pada penguatan
kepemimpinan kader Nasyiatul Aisyiyah. Sebuah pelajaran penting tentang kapan
harus berpikir cepat, dan kapan harus menahan diri untuk berpikir lebih dalam.
Materi kedua ini menjadi
salah satu sesi yang reflektif dan menggugah dalam rangkaian DANA III Nasyiah
Jatim.
Disampaikan oleh M. Subhan
Setowara, S.H.I., M.A., Direktur RBC Institute A. Malik Fadjar, sesi ini
berlangsung di The Millenium
Building, SD Muhammadiyah 4 Surabaya, di malam hari setelah para peserta menunaikan shalat Isya’, tepat pukul
20.00 WIB. Suasana malam yang hening justru menghadirkan ruang
kontemplatif bagi peserta untuk menyelami makna masalah, krisis, dan
kepemimpinan.
Materi dibuka dengan
dialog sederhana namun mendasar dari moderator, “Apa itu masalah?” Pertanyaan
ini memantik sahut-sahutan jawaban dari para peserta.
Beragam respons yang
muncul menegaskan satu hal: persoalan sering kali dipahami dari sudut pandang
masing-masing, belum tentu dari realitas yang sesungguhnya.
Dalam pemaparannya,
Subhan mengurai secara tegas perbedaan antara isu, masalah, dan krisis. Isu masih berada pada ranah
persepsi, sementara masalah adalah
sesuatu yang sudah nyata dan faktual. Adapun krisis merupakan kondisi yang jauh lebih kompleks; terjadi
dalam waktu lama, berulang, melibatkan banyak aktor, serta memiliki dimensi
yang saling bertaut.
Refleksi ini menjadi
sangat relevan bagi perempuan, khususnya kader Nasyiatul Aisyiyah, yang kerap
berhadapan dengan persoalan struktural namun dinormalisasi oleh waktu dan
kebiasaan.
“Seringkali sebuah
krisis itu tidak tampak menjadi masalah karena sudah menjadi kebiasaan. Padahal
itu adalah masalah serius yang harus diselesaikan,” ungkapnya.
Ia mencontohkan krisis
sampah di Bantar Gebang—sebuah persoalan yang berlangsung bertahun-tahun dengan
dampak luar biasa, namun menjadi bias karena dianggap normal. Bahkan,
masyarakat tetap bertahan hidup di dalam pusaran krisis tersebut.
Analogi ini
menggugah kesadaran peserta bahwa banyak persoalan perempuan seperti akses
pendidikan, kebijakan usia, beban ganda, hingga ketidakadilan struktural; sering
kali diperlakukan sebagai “hal biasa”, padahal sejatinya merupakan krisis yang
memerlukan keberanian untuk diurai.
Menurut Subhan, krisis
tidak bisa diselesaikan secara instan. Ia membutuhkan duduk bersama, kesabaran, dan kajian mendalam. Krisis yang telah mendarah daging menuntut proses
panjang dan keputusan yang matang.
Namun demikian, sebelum
masalah berkembang menjadi krisis, diperlukan fast thinking—kemampuan merespons cepat agar persoalan tidak
menumpuk dan memburuk.
“Fast thinking membantu
kita merespons cepat sebuah masalah, sementara kajian mendalam membantu kita
mengambil keputusan yang benar,” jelasnya.
Dalam konteks
kepemimpinan perempuan, fast thinking sering lahir dari intuisi, pengalaman lapangan, dan kepekaan
sosial. Perempuan yang terbiasa mengelola banyak peran kerap memiliki
intuisi yang tajam.
Akan tetapi, Subhan mengingatkan bahwa semakin lihai
seseorang, semakin besar pula risiko jika terjadi kelalaian. Oleh karena itu,
kebijaksanaan menjadi kunci.
Untuk keputusan besar
yang berdampak luas—terutama dalam organisasi dan gerakan—kajian mendalam menjadi keharusan, sebab
konsekuensi dari keputusan tersebut tidak hanya bersifat personal, melainkan
kolektif.
Peserta kemudian diajak melakukan
refleksi personal yang sangat relevan bagi kader perempuan:
“Dalam hal apa saya pernah mengambil keputusan cepat dan hasilnya benar? Dan
dalam hal apa keputusan cepat justru membawa kesalahan?”
Ia menegaskan bahwa jika
fast thinking dalam suatu bidang terbukti sering benar, maka keberanian untuk
bertindak menjadi penting. Menunda keputusan yang sudah jelas polanya justru
kerap membuat hasilnya tidak lebih baik.
“Pertajamlah keahlian di
bidang yang sudah kita kuasai. Ada pola yang berulang dan dari situlah
seseorang menjadi lihai,” tuturnya.
Kemampuan mengenali pola menjadi kunci
utama dalam problem solving. Ketika pola persoalan sudah terbaca—baik dalam isu
organisasi, sosial, maupun gerakan perempuan—maka keputusan dapat diambil lebih
cepat, tepat, dan bertanggung jawab.
Menutup materinya, dosen Universitas Muhammadiyah Malang ini menekankan bahwa kematangan dalam kepemimpinan ditandai oleh
berkurangnya distraksi emosional. Seorang pemimpin yang lihai tidak lagi mudah
diintervensi emosi, melainkan bekerja dengan kejernihan berpikir, kesadaran pola,
dan pemahaman risiko.
Irsha
Zayda
