Para remaja putri ini pun belajar tentang kepemimpinan dan membangun solidaritas dalam kelompok tersebut mengingat apa yang mereka lakukan adalah hal yang tidak lazim dilakukan anak perempuan pada zamannya (Syamsiyatun, 2006). Para remaja ini aktif tidak semata-mata karena dukungan Muhammadiyah sebagai organisasi induk, tetapi juga leadership dan integritas para kader Nasyiah yang berani keluar dari pakem masyarakat pada masa tersebut.
Nasyiah sejak awal juga memperhatikan pendidikan kadernya dengan membentuk sekolah-sekolah berdasarkan usia. Inisiatif SPW untuk melakukan pendidikan terhadap kadernya juga ditunjukkan dengan berdirinya sekolah remaja putri berdasarkan usia jamiatul athfal (7-10 tahun), tajmilul akhlak (10-15 tahun), tholabus saadah (15-18 tahun). Pada kelompok jamiatul athfal pertemuan diadakan dua kali dalam seminggu dengan aktivitas membaca Al-Qur’an, menyanyi, kerajinan tangan, serta olahraga.
Spirit dasar Nasyiah pada awal berdirinya adalah memberdayakan perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama terhadap akses keagamaan serta akses sosial lainnya seperti pendidikan. Kata-kata dalam syair mars Nasyiah “bekerja digemari” benar-benar diaktualisisasikan walaupun dalam bentuk aktivitas sederhana, namun memberikan proses pendidikan kepada perempuan dengan pe-nuh makna. Gerakan inisiatif untuk memberikan solusi terhadap persoalan pada masanya menjadi kata kunci dalam setiap masa perjuangan Nasyiah.
Pendidikan merupakan wadah strategis untuk membentuk kesiapan generasi penerus bangsa ini, termasuk di dalamnya adalah Nasyiah. Nasyiah yang semakin berkembang membutuhkan ketersediaan sumber daya manusia (kader) guna melangsungkan misi dakwahnya. Berkaitan dengan hal tersebut, fungsi kekaderan dalam Nasyiah perlu dilestarikan dan senantiasa didinamisasikan sehingga menemukan relevansinya dengan perkembangan waktu. Nasyiah juga dituntut untuk selalu mengadaptasi setiap arahan kebijakan organisasi, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan strategi pengembangan perkaderannya.