Manajemen Konflik Berbasis Keadilan Gender, Membongkar Kekerasan Simbolik dalam Narasi Sehari-hari

Radius Setiyawan, Wakil Rektor Umsura saat menyampaikan materi Manajemen Konflik pada DANA III Jawa Timur

nasyiahjatim.or.id
Konflik sosial tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari relasi kuasa, dari ketimpangan struktural, serta dari narasi yang selama ini dianggap wajar dan alamiah. Inilah benang merah yang disampaikan Radius Setiyawan dalam materi Manajemen Konflik pada Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III Jawa Timur.

Dalam paparannya, Radius menekankan bahwa konflik sering kali dipahami secara sempit sebagai sesuatu yang harus dihindari. Padahal, dalam perspektif teori sosial kritis, konflik justru menyimpan pengetahuan penting tentang bagaimana ketimpangan bekerja dan dipertahankan.

“Teori konflik membantu kita membaca ketimpangan struktural yang selama ini ditutupi oleh narasi harmoni,” ujarnya. Konflik, lanjutnya, menjadi pintu masuk untuk memahami perubahan sosial, sekaligus alat kritik untuk membongkar ideologi yang melanggengkan ketidakadilan—terutama ketidakadilan berbasis gender.

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Digitalisasi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSURA) ini juga menegaskan bahwa konflik tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik atau pertikaian terbuka. Banyak konflik justru beroperasi secara senyap melalui apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai kekerasan simbolik.

Kekerasan jenis ini bekerja secara halus, nyaris tak terasa, karena ia dilekatkan pada apa yang dianggap “normal”, “alamiah”, dan “sudah seharusnya”.

“Kekuasaan tidak selalu memukul atau memaksa. Ia sering bekerja lewat bahasa, pendidikan, dan simbol,” terang Radius. Habitus—pola pikir dan kebiasaan yang tertanam sejak lama—membuat individu menerima dominasi tanpa merasa sedang didominasi. Dalam konteks ini, masyarakat kerap menjadi agen yang secara tidak sadar ikut mereproduksi ketimpangan.

Salah satu arena utama kekerasan simbolik, menurut Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini, adalah narasi budaya dan pendidikan anak. Dongeng dan cerita rakyat yang diwariskan lintas generasi ternyata sarat dengan bias gender dan pesan misoginis.

Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, misalnya, menggambarkan konflik antarsesama perempuan sebagai sesuatu yang alamiah, bahkan seolah tak terhindarkan. Konflik tersebut direduksi menjadi perebutan figur laki-laki, yang secara implisit menegaskan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk labil dan mudah berkonflik.

Hal serupa juga ditemukan dalam kisah Timun Emas. Meski sering dipersepsikan sebagai simbol kepahlawanan perempuan, cerita ini tetap menempatkan tokoh utamanya sebagai sosok yang bergantung pada pertolongan laki-laki.

“Timun Emas selamat bukan karena kemandiriannya, tetapi karena empat bungkus ajaib dari seorang pertapa laki-laki,” kata Radius. Dengan demikian, perempuan kembali direpresentasikan sebagai subjek yang lemah dan bergantung.

Narasi romantik populer seperti Cinderella, Snow White, dan Putri Tidur pun tak luput dari kritik. Tokoh perempuan hampir selalu digambarkan sebagai pihak yang menunggu diselamatkan, sementara laki-laki hadir sebagai penyelamat dan penentu akhir cerita. Pola ini, menurut Radius, membentuk imajinasi sosial tentang relasi gender sejak usia dini.

Narasi-narasi tersebut tidak berdiri sendiri. Ia terhubung erat dengan sistem patriarki, yakni tatanan sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam politik, ekonomi, pendidikan, hukum, hingga otoritas moral.

Mengutip pemikiran Kate Millett, Radius menjelaskan bahwa perbedaan biologis kemudian diterjemahkan menjadi perbedaan status sosial yang tidak setara. Perempuan diposisikan sebagai inferior, sementara laki-laki dilegitimasi sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.

Dampak patriarki, lanjutnya, tidak hanya terasa dalam relasi personal, tetapi juga dalam struktur institusional. Negara, sistem pendidikan, pembagian kerja domestik, hingga relasi manusia dengan lingkungan kerap dibangun di atas asumsi gender yang timpang.

Perempuan dibebani kerja-kerja reproduktif dan domestik, sementara akses terhadap sumber daya dan ruang pengambilan keputusan tetap terbatas.

Menghadapi situasi tersebut, Radius menawarkan pendekatan manajemen konflik berbasis literasi dan kesadaran kritis. Salah satu langkah penting adalah melakukan rekonstruksi narasi dalam pendidikan. 

Rekonstruksi, tegasnya, bukan sekadar menceritakan ulang kisah lama, melainkan mengubah skema berpikir yang mendasarinya. “Rekonstruksi itu bukan membuat semua tokoh akur dan tanpa konflik, tetapi memastikan konflik dalam cerita mendidik anak untuk adil, bertanggung jawab, dan berempati,” jelasnya.

Selain rekonstruksi narasi, manajemen konflik yang berkeadilan gender juga menuntut redistribusi kuasa. Relasi setara berarti berbagi akses terhadap sumber daya, berbagi ruang dalam pengambilan keputusan, serta berbagi kontrol atas tubuh dan waktu. Dalam konteks gerakan sosial, setiap aktor membawa modal sosial, simbolik, budaya, dan ekonomi yang berbeda.

“Relasi setara menuntut refleksi posisi, terutama dari aktor-aktor dominan,” tegas Radius.

Melalui pemaparan ini, ia menegaskan bahwa manajemen konflik tidak cukup berhenti pada upaya meredam ketegangan atau menjaga stabilitas semu. Lebih dari itu, ia menuntut keberanian untuk membongkar struktur ketidakadilan yang selama ini tersembunyi di balik bahasa, budaya, dan pendidikan.

Tanpa kesadaran kritis atas narasi dan relasi kuasa, konflik hanya akan terus berulang dalam bentuk yang berbeda—dan perempuan akan terus menjadi pihak yang dirugikan.

Melalui pendekatan kajian budaya dan komunikasi, Radius mengajak peserta membaca konflik bukan sekadar sebagai benturan kepentingan, melainkan sebagai hasil dari dominasi ideologis yang kerap tersembunyi di balik bahasa, pendidikan, dan simbol-simbol keseharian.

Hervina Emzulia