Isu Strategis Perempuan dan Anak: Ketika Perempuan Dipaksa Kuat dalam Sistem yang Tak Adil

Rinrin Marlia Azhary, S.S. Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah saat menyampaikan materi pada DANA III

nasyiahjatim.or.id
—Materi pembuka dalam rangkaian Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III yang digelar di SD Muhammadiyah 4 Sidoarjo, Jumat (26/12/2025), menghadirkan potret jujur dan menggugah tentang realitas perempuan dan anak di tengah tekanan sosial, ekonomi, serta kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak.

Disampaikan oleh Rinrin Marlia Azhary, S.S., Ketua Bidang Advokasi Sosial dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, materi bertajuk Isu–Isu Strategis Perempuan dan Anak ini mengajak peserta membaca persoalan perempuan bukan semata sebagai pengalaman personal, melainkan sebagai masalah struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan dan gerakan kolektif.

Rinrin mengatakan bahwa perempuan hari ini berada dalam pusaran standar ganda peran. Perempuan—terutama ibu—masih dibebani tanggung jawab domestik dan pengasuhan, namun pada saat yang sama dituntut turut menopang ekonomi keluarga.

Ketimpangan ini kerap mendorong perempuan mengambil jalan yang berisiko, termasuk jeratan pinjaman online, demi bertahan hidup.

Ayunda Esti, salah satu peserta DANA III, yang menyoroti realitas di lingkungannya.“Semakin banyak ibu-ibu dan perempuan yang memiliki pinjaman online. Betapa realitas di sekitar saya ini menguatkan standar ganda bagi peran perempuan yang dituntut mencari nafkah,” ungkapnya.

Menurutnya, pinjaman online bukan sekadar persoalan literasi keuangan, melainkan cermin dari lemahnya perlindungan sosial dan ekonomi bagi perempuan.

Isu strategis lainnya yang mencuat dalam diskusi siang ini adalah akses pendidikan tinggi bagi perempuan, khususnya kader Nasyiatul Aisyiyah. Ainur Rahimah dari PCNA Sukun, yang menempuh Pendidikan S-1 di usia 35 tahun, mengungkapkan bahwa di lingkungannya masih sangat sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi.

Hambatan terbesar bukan hanya biaya, tetapi juga keterbatasan akses beasiswa serta kebijakan batas usia yang dinilai belum mengakomodasi realitas hidup perempuan.

Ia menilai pembatasan usia penerima beasiswa menjadi bentuk kebijakan yang bias gender, karena banyak perempuan harus menunda pendidikan akibat pernikahan, pengasuhan anak, maupun beban domestik.

Kondisi ini diperparah oleh stigma sosial bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi, kesiapan mental yang tergerus oleh budaya patriarkal, serta minimnya support system yang mendorong perempuan berani bermimpi dan melangkah.

Dalam forum tersebut bahkan terungkap kasus ekstrem perempuan yang harus menanggung hutang hingga 70 juta rupiah demi bisa melanjutkan kuliah, sebuah fakta yang menunjukkan betapa mahal harga yang harus dibayar perempuan untuk memperoleh hak dasar atas pendidikan.

Diskusi kemudian mengerucut pada persoalan akses pendidikan tinggi bagi perempuan, terutama terkait kebijakan beasiswa. Ainur Rahimah dari PCNA Sukun, yang menempuh pendidikan di usia 35 tahun, mengungkapkan bahwa keterbatasan akses beasiswa dan pembatasan usia menjadi penghalang serius bagi perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan.

Menanggapi kegelisahan tersebut, Rinrin menegaskan bahwa kebijakan beasiswa memang perlu dikritisi secara lebih berani dan sistematis oleh kader perempuan.

“Ada beasiswa kader yang sebenarnya bisa menjadi legitimasi bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan, termasuk skema pembiayaan hingga 50 persen bagi kader NA yang memiliki kompetensi. Tetapi pertanyaannya, kenapa kebijakan itu dipatok pada usia 35 tahun? Di situ ada batasan bagi perempuan. Ini adalah isu yang harus disuarakan agar rentang usia bisa diperluas,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa banyak kebijakan pendidikan belum mengakomodasi realitas hidup perempuan, yang sering kali harus menunda pendidikan karena pernikahan, pengasuhan anak, atau beban domestik lainnya.

“Di sinilah peran Nasyiatul Aisyiyah: menelisik lebih jauh, mengadvokasi, dan memastikan kebijakan benar-benar berpihak pada perempuan,” lanjut Rinrin.

Forum ini mengungkap bahwa rendahnya pendidikan perempuan masih dipengaruhi oleh bias gender, lemahnya kesiapan mental akibat stigma sosial, serta minimnya support system.

Bahkan, terungkap kasus perempuan yang harus menanggung hutang hingga 70 juta rupiah demi bisa melanjutkan kuliah, sebuah fakta yang menggambarkan mahalnya harga yang harus dibayar perempuan untuk memperoleh hak atas pendidikan.

Melalui materi ini, DANA III menegaskan kembali komitmen Nasyiatul Aisyiyah sebagai gerakan perempuan muda berkemajuan yang tidak hanya membangun kesadaran ideologis, tetapi juga mendorong advokasi kebijakan yang adil, inklusif, dan sensitif terhadap pengalaman hidup perempuan. 

Forum ini menjadi ruang strategis untuk mengubah kegelisahan kader menjadi agenda perjuangan bersama.

Irsha Zayda