Feminisme Interseksional Jadi Pilar Inklusivitas Gerakan Perempuan

Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D., hadir secara daring melalui saluran Zoom pada DANA III Jawa Timur

nasyiahjatim.or.id
Feminisme interseksional kian menguat sebagai pendekatan penting dalam memperjuangkan keadilan gender yang inklusif dan berkeadaban. Hal ini mengemuka dalam pemaparan Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D., Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus mantan Komisioner Komnas Perempuan RI (2020–2024), yang hadir secara daring melalui saluran Zoom pada Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III Jawa Timur.

Dalam materinya bertajuk “Feminisme Interseksional sebagai Pilar Inklusivitas Gerakan Perempuan”, Prof. Alim—sapaan akrabnya, menegaskan bahwa feminisme bukanlah konsep asing bagi masyarakat Indonesia maupun Islam.

Feminisme, menurutnya, adalah gerakan yang lahir dari kesadaran akan adanya persoalan ketidakadilan yang dialami perempuan, serta ikhtiar nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut agar kehidupan perempuan menjadi lebih baik dalam berbagai aspek.

“Feminisme bergerak dengan keyakinan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama manusia seutuhnya, yang memiliki hak asasi dan martabat yang harus dihormati,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme dimaknai sebagai gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki. Namun dalam praktiknya, feminisme berkembang dalam beragam konteks sosial, budaya, dan agama, termasuk dalam Islam.

Prof. Alim menegaskan bahwa nilai-nilai feminisme sejatinya sejalan dengan spirit ajaran Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Ia bahkan menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang sangat patriarkal.

Mengutip pernyataan Umar bin Khattab, Alimatul mengingatkan bahwa kehadiran Islam mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan. “Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut perempuan, kami baru menyadari bahwa mereka juga memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi,” ungkapnya mengutip riwayat tersebut.

Sejarah menunjukkan, lanjutnya, bahwa gagasan keadilan gender telah ada sejak lama, bahkan sebelum istilah feminisme dikenal luas. Dalam konteks Muslim Indonesia, tokoh-tokoh seperti Maria Ulfah Santoso telah memperjuangkan regulasi perkawinan yang adil bagi perempuan sejak awal abad ke-20.

Menurut Prof. Alim, feminisme tetap relevan karena ketidakadilan gender bukanlah mitos, melainkan realitas yang masih dialami banyak perempuan hingga hari ini. Ketidakadilan itu berakar pada cara berpikir, penafsiran, keyakinan, serta praktik sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak setara.

Ia mencontohkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari diskriminasi kepemimpinan, upah rendah, objektifikasi seksual, hingga kekerasan berbasis gender. Salah satu bentuk yang kerap dinormalisasi adalah catcalling atau candaan bernuansa seksual di ruang publik.

“Candaan seksis bukanlah keramahan, melainkan pintu masuk budaya kekerasan seksual,” tegasnya.

Data menunjukkan bahwa budaya permisif terhadap candaan seksis dapat melanggengkan budaya perkosaan. Bahkan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku pelecehan verbal seksual.

Dalam paparannya, Prof. Alim menekankan pentingnya pendekatan interseksional dalam gerakan feminisme. Interseksionalitas mengakui bahwa identitas sosial—seperti gender, agama, disabilitas, kelas sosial, dan etnis—saling beririsan dan dapat memperkuat pengalaman diskriminasi seseorang.

“Tanpa perspektif interseksional, gerakan keadilan berpotensi meninggalkan kelompok yang paling rentan,” ujarnya.

Karena itu, feminisme Muslim Indonesia diarahkan pada gerakan yang inklusif, tidak diskriminatif, serta mampu membangun dialog lintas perbedaan.

Salah satu penekanan penting dalam materi tersebut adalah penguatan konsep keluarga feminis. Alimatul menjelaskan bahwa banyak ketidakadilan gender justru berakar dari relasi kuasa yang timpang dalam keluarga. Feminisme, katanya, tidak melarang perempuan memilih peran domestik, melainkan mendorong kebebasan memilih peran secara sadar dan tanpa paksaan.

“Keluarga feminis menempatkan relasi sebagai negosiasi, bukan dominasi,” katanya.

Dalam keluarga feminis, pekerjaan domestik dan pengasuhan adalah tanggung jawab bersama orang tua, bukan semata beban ibu. Laki-laki diposisikan sebagai mitra, bukan musuh, dalam memperjuangkan keadilan dan kesalingan.

Di akhir pemaparannya, ia menyimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan kemanusiaan yang berangkat dari kepedulian terhadap ketidakadilan nyata. Ia juga mengingatkan bahwa keburukan akan terus tumbuh bukan semata karena banyaknya orang jahat, melainkan karena orang-orang baik memilih diam.

“Feminis Muslim penting memiliki perspektif interseksional dan inklusif agar keadilan yang diperjuangkan benar-benar menghadirkan kemaslahatan bagi semua,” pungkasnya.

Hervina Emzulia