![]() |
| Hasmaranti, S.Kom., M.I.Kom., Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas P3AK Provinsi Jawa Timur saat menyampaikan materi pada DANA III Jawa Timur |
nasyiahjatim.or.id—Upaya mewujudkan keadilan gender dan perlindungan perempuan serta anak tidak dapat dilakukan secara sporadis. Membutuhkan perencanaan strategis yang terarah, berbasis data, dan berlandaskan hukum yang kuat. Inilah benang merah materi yang disampaikan oleh Hasmaranti, S.Kom., M.I.Kom., Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas P3AK Provinsi Jawa Timur; dalam Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III Jawa Timur di Gedung The Millennium Building, SD Muhammadiyah 4 Surabaya.
Ia memaparkan bahwa gerakan perempuan hari ini harus berdiri di atas pijakan komitmen global dan regulasi nasional. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional penting, seperti CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, Beijing Platform for Action 1995 dengan 12 area kritis, serta Konvensi Hak Anak (UN-CRC). Komitmen ini diperkuat oleh beragam regulasi nasional, mulai dari UUD 1945, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam konteks tersebut, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perkawinan, hingga partisipasi politik. Negara berkewajiban menjamin hak-hak ini, namun masyarakat sipil—termasuk organisasi perempuan seperti Nasyiatul Aisyiyah—memegang peran strategis sebagai penggerak, pengawas, sekaligus mitra kritis negara.
Pada titik inilah Nasyiatul Aisyiyah memposisikan jati dirinya. Bukan sekadar organisasi perempuan muda, tetapi ruang ideologis yang melahirkan kesadaran, keberanian, dan keberpihakan. Ketika data pembangunan belum sepenuhnya adil bagi perempuan, kader Nasyiah dipanggil untuk hadir—membaca realitas, mengawal kebijakan, dan bekerja di akar rumput dengan kesadaran transformatif. Gerakan ini tidak lahir dari kegaduhan, tetapi dari keyakinan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran yang terorganisasi.
Menjadi kader Nasyiatul Aisyiyah berarti menempatkan diri sebagai subjek sejarah, bukan penonton pembangunan. Dengan ideologi Islam berkemajuan, Nasyiah bergerak merawat kehidupan, meneguhkan keadilan gender, dan memastikan perempuan serta anak tidak tertinggal dalam arus perubahan.
Di sinilah kader dipanggil untuk terus belajar, bergerak, dan mengabdi—karena pembangunan sejati bukan tentang angka yang naik, melainkan tentang martabat manusia yang dijaga dan masa depan yang diperjuangkan bersama.
Paparan data pembangunan manusia menjadi pengingat bahwa capaian kuantitatif belum sepenuhnya mencerminkan keadilan gender. IPM Jawa Timur tahun 2024 menunjukkan kenaikan tertinggi di Pulau Jawa, dengan indikator harapan lama sekolah 13,43 tahun dan umur harapan hidup 75,07 tahun.
Namun, Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) masih memperlihatkan kesenjangan antar kabupaten/kota. Hal ini menandakan bahwa kemajuan pembangunan belum sepenuhnya dirasakan secara setara oleh perempuan.
Tantangan lain terlihat pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih timpang antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menegaskan pentingnya intervensi kebijakan yang sensitif gender serta penguatan kapasitas perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
Di sinilah urgensi perencanaan strategis menjadi nyata. Perencanaan strategis dipahami sebagai proses sistematis untuk menentukan arah gerakan dan mengalokasikan sumber daya secara efektif. Pendekatan Pengarusutamaan Gender (PUG) menjadi kunci, dengan penggunaan alat analisis seperti Gender Analysis Pathway (GAP), analisis situasi dan pemetaan masalah di tingkat desa/kelurahan ramah perempuan dan peduli anak, serta analisis SWOT untuk membaca kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan organisasi.
Bagan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Perencanaan menunjukkan bahwa ketimpangan gender tidak boleh dipahami sebagai gejala tunggal, melainkan sebagai rangkaian sebab–akibat yang sistemik. Melalui Gender Analysis Pathway (GAP) versi 4 langkah, perencanaan pembangunan diarahkan untuk dimulai dari identifikasi isu atau masalah gender yang nyata di masyarakat.
Pada tahap ini, persoalan seperti rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan, keterbatasan akses pendidikan, hingga tingginya kerentanan kekerasan menjadi pintu masuk analisis.
Langkah berikutnya adalah identifikasi faktor penyebab, baik langsung maupun tidak langsung. Skema GAP menegaskan bahwa ketimpangan tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh faktor struktural seperti kebijakan yang belum responsif gender, norma sosial, distribusi sumber daya, serta relasi kuasa dalam keluarga dan ruang publik.
Di sinilah pentingnya membedakan penyebab internal (desain program, mekanisme pelaksanaan) dan penyebab eksternal(konteks sosial, budaya, dan kelembagaan).
Berikutnya, GAP mengarahkan penyusunan rencana aksi berbasis kerangka kerja logis, yang secara jelas memetakan input–proses–output–outcome–impact. Kerangka ini menegaskan bahwa pembangunan kesetaraan gender tidak berhenti pada kegiatan, tetapi harus berujung pada dampak nyata, yakni menurunnya Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) sebagaimana ditargetkan dalam RPJMN 2025–2029.
Outcome yang diharapkan pun konkret: meningkatnya pendidikan dan kesehatan perempuan, naiknya TPAK perempuan, meningkatnya pendapatan dan partisipasi politik, serta menurunnya kekerasan terhadap perempuan.
Langkah keempat; menekankan identifikasi kementerian, lembaga, dan unit organisasi yang relevan, sekaligus pemetaan rencana kerja tahunan. Ini menunjukkan bahwa PUG adalah strategi mainstreaming, bukan program sektoral semata. Pendidikan, kesehatan, ekonomi, perlindungan sosial, hingga UMKM dan ketenagakerjaan harus saling terhubung, dengan dukungan input berupa SDM, anggaran, serta sarana prasarana.
Lebih rinci, Hasmaranti menyajikan bagan GAP 9 Langkah memperlihatkan kedalaman analisis kebijakan. Proses dimulai dari penamaan kebijakan dan penyajian data terpilah menurut jenis kelamin dan usia, lalu bergerak ke identifikasi kesenjangan, sebab internal dan eksternal, hingga reformulasi tujuan dan rencana aksi yang benar-benar responsif gender.
Tahap akhir berupa pengukuran hasil dan indikator kinerja menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan gender harus terukur, selaras dengan indikator IPG dan IKG.
Dalam konteks ini, peran Nasyiatul Aisyiyah menjadi strategis. Nasyiah tidak hanya berada di hilir sebagai pelaksana program, tetapi di hulu sebagai aktor yang mampu membaca data, mengkritisi kebijakan, dan mengawal agar GAP tidak berhenti sebagai kerangka teknokratis.
Dengan kedekatan pada basis komunitas perempuan muda, Nasyiah dapat memastikan bahwa perencanaan responsif gender benar-benar menjawab kebutuhan riil, bukan sekadar memenuhi indikator administratif.
Narasi ini menegaskan bahwa IPM yang meningkat harus dibaca bersama IPG dan IKG, serta diterjemahkan melalui PUG dan GAP secara konsisten. Tanpa itu, pembangunan berisiko kehilangan arah keadilan. Sebaliknya, ketika analisis gender dijalankan secara utuh, pembangunan tidak hanya tumbuh, tetapi juga menghadirkan kesetaraan yang nyata bagi perempuan dan anak di Jawa Timur.
Lebih jauh, Hasmaranti menekankan pentingnya sinergi lintas sektor. Pemerintah, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha, dan media massa harus terhubung dalam jejaring kemitraan yang solid. Koordinasi, sinkronisasi, dan kolaborasi menjadi fondasi untuk memastikan kesetaraan gender, pemberdayaan, serta perlindungan perempuan dan anak berjalan berkelanjutan.
“Melalui perencanaan strategis yang inklusif dan berbasis data, gerakan perempuan—khususnya Nasyiatul Aisyiyah—kita harus tampil sebagai aktor perubahan yang tidak hanya responsif terhadap masalah, tetapi juga visioner dalam merancang masa depan yang adil, setara, dan berkeadaban bagi seluruh lapisan masyarakat.”, demikian ungkapnya menutup akhir materi.
Irsha Zayda
