Proses Persidangan Perdata dan Pidana untuk Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Dibahas dalam Pelatihan Paralegal PWNA Jawa Timur

Materi Proses Persidangan Perdata dan Pidana untuk Kasus KTPA oleh Dosen FH UMSurabaya

nasyiahjatim.or.id—
Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi salah satu isu kritis di Indonesia. Dalam rangka memperkuat perlindungan hukum bagi korban kekerasan, Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Dasar. Kegiatan yang berlangsung di Namira Syariah Hotel Surabaya ini memasuki hari ketiga dengan sesi yang membahas proses peradilan perdata dan pidana dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, menghadirkan Dr. Agus Supriyo, S.H., M.Si., dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Sesi ini dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam kepada para peserta tentang langkah-langkah hukum yang dapat diambil dalam menangani kasus kekerasan, sekaligus membekali mereka dengan kemampuan praktis untuk mendampingi korban sebagai paralegal.

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: Masalah Serius yang Perlu Penanganan Tepat
Dr. Agus membuka paparannya dengan mengutip data terbaru dari berbagai sumber, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) dan Komnas Perempuan. Sepanjang 2024, dilaporkan lebih dari 28.831 kasus kekerasan terhadap anak dan 34.682 kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun, angka ini diperkirakan hanya sebagian kecil dari kejadian sebenarnya, mengingat masih banyak korban yang enggan melapor karena stigma sosial dan ketakutan akan proses hukum.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga cerminan ketidakadilan struktural yang memerlukan perhatian serius,” ujarnya membuka paparan materi. Ia menekankan bahwa paralegal memiliki peran strategis dalam mendampingi korban, mulai dari melaporkan kasus hingga memastikan hak-hak mereka terpenuhi selama proses hukum berlangsung.

Sesi ini juga mengupas kerangka hukum yang relevan dalam menangani kasus kekerasan, termasuk Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, dibahas pula aturan pendukung seperti Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang perbuatan melawan hukum.

“Korban kekerasan berhak mendapatkan keadilan, kompensasi, perlindungan, dan dukungan psikologis,” jelas Dr. Agus. Hak-hak ini, lanjutnya, tidak hanya dijamin oleh undang-undang, tetapi juga menjadi tanggung jawab lembaga terkait, seperti polisi, kejaksaan, pengadilan, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Sebagai bagian dari pelatihan, para peserta diajak untuk mempraktikkan penyusunan gugatan perdata, yang meliputi identitas para pihak, kronologi kejadian, bukti-bukti yang relevan, dan tuntutan ganti rugi. Dalam simulasi ini, peserta diminta untuk mengidentifikasi kerugian materiil, seperti biaya pengobatan dan rehabilitasi, serta kerugian imateriil, seperti trauma psikologis yang dialami korban.

Dr. Agus juga memberikan panduan tentang proses mediasi sebagai langkah awal dalam penyelesaian sengketa perdata. “Jika mediasi gagal, kasus akan berlanjut ke persidangan hingga hakim memberikan putusan,” ungkapnya.

Tantangan dalam Proses Hukum
Diskusi dalam sesi ini juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi korban kekerasan. Di antaranya adalah stigma sosial yang membuat korban enggan melapor, kurangnya akses terhadap layanan hukum, dan lambannya proses peradilan. Selain itu, aparat hukum sering kali kurang sensitif terhadap isu-isu gender, sehingga mempersulit proses hukum bagi korban perempuan dan anak.

Sebagai solusi, Dr. Agus menyarankan peningkatan pelatihan bagi aparat penegak hukum, pemberian edukasi hukum kepada masyarakat, dan penyediaan akses layanan hukum yang mudah dijangkau. “Hukum bukan hanya milik segelintir orang. Ia harus bisa diakses oleh siapa saja, termasuk mereka yang berada dalam kondisi rentan,” tegasnya.

Pelatihan ini bertujuan mencetak paralegal yang tidak hanya memahami aspek hukum, tetapi juga memiliki empati terhadap korban. Dr. Agus menekankan pentingnya pendekatan yang humanis dalam mendampingi korban. “Sebagai paralegal, Anda adalah jembatan antara korban dan keadilan. Anda harus menjadi pendengar yang baik, sekaligus memberikan arahan yang tepat.”

Peserta juga mendapatkan wawasan tentang proses peradilan pidana, yang meliputi pelaporan, penyelidikan, penuntutan, hingga persidangan. Tahapan ini dijelaskan secara rinci, termasuk bagaimana memastikan bukti-bukti, seperti hasil visum dan keterangan saksi, dapat mendukung kasus korban di pengadilan.

PWNA Jawa Timur berharap pelatihan ini dapat menjadi langkah awal dalam menciptakan ekosistem hukum yang lebih inklusif bagi korban kekerasan. “Kami ingin para paralegal yang dilatih di sini menjadi agen perubahan di komunitas mereka,” ujar Fazat Azizah, M.H., ketua panitia. Dengan pengetahuan yang mendalam dan keterampilan praktis, para paralegal diharapkan mampu memberikan pendampingan hukum yang efektif bagi perempuan dan anak yang membutuhkan.

Acara ini sekaligus menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kekerasan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan sinergi yang kuat, keadilan dan perlindungan bagi korban bukan lagi sekadar harapan, melainkan sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan.

Hervina Emzulia