Makna dan Sebab Ketidak Adilan Gender

 


Dalam tradisi Islam, secara normative relasi laki-laki dan perempuan dalam posisi setara, tidak ada superioritas dan subordinasi (diunggulkan dan direndahkan), masing-masing memiliki potensi, fungsi, peran dan kemungkinan pengembangan diri. Pembahasan terkait Gender dalam Islam ini menjadi materi pembuka pada pelatihan Paralegal Dasar Virtual PWNA Jawa Timur, 8 Januari 2022.

Prof. Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan RI mengawali pemaparannya dengan menjelaskan tentang gender dari berbagai makna. Yang pertama sebagai Phenomena/Konstruksi Sosial. Sebagaimana umumnya, gender sebagai phenomena merupakan sebuah ciri khas yang melekat pada masing-masing laki-laki dan perempuan.

“Diantaranya ciri khas perempuan dengan kerudung dan laki-laki dengan memakai celana, perempuan suaranya lebih lembut dan laki-laki suaranya lebih keras, serta ciri khas lain yang nampak pada umumnya”. Ujarnya.

Selain itu yang kedua gender juga sebagai suatu persoalan, yaitu ketika pemahaman gender tersebut menimbulkan ketidak adilan. Misalnya Seorang laki-laki dianggap lebih pantas menjadi pemimpin di sebuah komunitas, perusahaan maupun lembaga daripada perempuan karena jenis kelaminnya.

Yang ketiga sebagai Perspektif. Yaitu bagaimana kita melihat persoalan-persoalan di sekitar kita dan hal tersebut kita lihat dengan cara pandang kesetaraan dan keadilan genter itu. Yang keempat sebagai Alat Analisis, misalnya dengan APKM (Akses Partisipasi Kontrol Manfaat). Atau bisa juga dengan memperhatikan teori Moser yaitu bagaimana memperhatikan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis perempuan. Dan yang kelima adalah sebagai Sebuah Gerakan Kesadaran.

Setelah membahas gender dari berbagai makna, Prof Alim melanjutkan bahasannya dengan sebab munculnya ketidak adilan gender. Diantaranya terkait dengan budaya patriarki yang mana pada umumnya lebih mengedepankan dan memberikan hak hak yang utama pada laki-laki. Kemudian paham agama yang bias gender atau misoginis.

“Meski sebenarnya budaya patriarki tersebut tidak selalu merugikan perempuan tapi juga laki-laki. Misalnya laki-laki tidak boleh menangis atau tidak boleh takut karena dia laki-laki, maka ini akan berpengaruh terhadap kesehatan mental laki-laki tersebut. Padahal laki-laki juga manusia yang berhak merasa sedih, takut atau bahkan menangis”. Tuturnya.

Tak kalah penting misalnya harapan-harapan masyarakat bahwa laki-laki harus menjadi segalanya daripada perempuan padahal ternyata pada banyak kasus tidak jadi segalanya. Kemudian laki-laki itu juga mengalami krisis maskulinitas atau persoalan-persoalan krisis identitas sebagai kelaki-lakiannya. Sehingga ini akan merugikan laki-laki.

Berikutnya adalah kebijakan yang netral atau bias gender. Prof. Alim mencontohkannya dengan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Bagaimana hal itu masih dipertanyakan meski sudah sejak tahun 2016, atau mungkin RUU Pekerja Rumah tangga yang mana kita menganggap bahwa pekerja rumah tangga itu masih disebut sebagai pembantu, kudet, asisten dll. Sehingga karena tidak dianggap sebagai pekerja maka dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Ataupun kebijakan lainnya yang kadang tidak disesuaikan dengan kebutuhan praktis perempuan.

Akar penyebab ketidak adilan gender tersebutlah yang kemudian menyebabkan berbagai macam diskriminasi mulai stereotip, subordinasi, marginalisasi, beban berlebihan hingga kekerasan.

 

 Ridia Septiria