Sebab Kita Saling Memantaskan


Oleh:
Hervina Emzulia

Syahdan, disiplin psikologi mengimani developmental process teories sebagai konsep dalam tata cara memilih—lalu menentukan pasangan. Pada dasarnya, proses pemilihan itu mayoritas menyandarkan pertimbangan pada wilayah-wilayah “kebutuhan”.

“Kebutuhan” sebagai kata kunci inilah yang kemudian membuat proses-memilih-pasangan menjadi amat individual dan tentu saja akan berbeda tiap kebutuhan (atau juga keinginan?) masing-masing hati dan kepala. Bergantung kebutuhan apa yang hendak diraih. Dan dengan jalan apa akan dikayuh.

Abraham Maslow menyusun teori hierarki kebutuhan yang membagi kebutuhan umat manusia ke dalam lima tingkatan. Dari tingkatan paling rendah hingga yang paling tinggi berturut-turut ialah kebutuhan fisiologis; keamanan; cinta dan kebenaran; penghargaan; dan aktualisasi diri.

Teori ini berbicara bahwa untuk mencapai derajat kebahagiaan hakiki, kebutuhan yang berada pada level rendah harus dipenuhi terlebih dahulu, sebelum kemudian beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi di atasnya. Demikian seterusnya hingga kebutuhan paling puncak: aktualisasi diri.

Kelima tingkatan kebutuhan ini setidaknya dapat dijadikan salah satu rujukan dalam upaya memenuhi “kebutuhan” hidup melalui jalan memilih pasangan. “Kebutuhan” inilah yang pada akhirnya akan mengantarkan kita semua pada satu titik: menentukan pilihan, siapa yang tepat menemani kita untuk beribadah seumur hidup mengarungi samudera rumah tangga—mengenai idiom ini, entah mengapa orang-orang acap mengibaratkan pernikahan dengan dunia sekitar air.

Tiap-tiap kita memiliki kriteria laki-laki atau perempuan idaman yang menjadi pilihan masing-masing. Biasanya, individu akan mencari kesempurnaan dalam memilih pasangan.

Oleh sebab itu, mayoritas dari kita akan membuat satu keputusan dan pertimbangan untuk menyusun kriteria pasangan yang kita inginkan. Misalnya beberapa kriteria seperti mempunyai daya tarik fisik, keuangan yang stabil, berpendidikan, sehat, dan seterusnya.

Maka bernarlah apa yang disebut Miller, bahwa seseorang biasanya tertarik pada orang lain yang bisa memberi keuntungan baik secara langsung maupun tidak. Keuntungan-keuntungan ini biasanya meliputi hal-hal sekitar perhatian, keuntungan finansial, penampilan menarik, hingga kepribadian baik. 

Sekalipun ketertarikan ini terjadi karena adanya pengharapan akan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, nyatanya tidak setiap orang mampu menyadari seluruh dalih mengapa mereka bisa tertarik pada seseorang. Seseorang mungkin sudah mempunyai kriteria pasangan ideal yang diinginkannya, akan tapi dalam praktik di lapangan, ternyata orang yang disukainya tidak selalu dapat memenuhi kriteria yang ia tetapkan sebelumnya.

Tapi jangan pernah lupa, agama senantiasa memiliki solusi. Misalnya perihal memilih jodoh terhadap perempuan. Kriteria beragama ditempatkan pada posisi paling akhir setelah harta; nasab; hingga kecantikan. Maknanya, seseorang boleh jadi tak berharta, bukan berasal dari keluarga golongan atas, atau bahkan secara fisik kurang menarik.

Akan tetapi, mereka semua harus tetap memiliki agama untuk dipegang teguh. Menjadikan agama sebagai orientasi utama dalam hidup tidak saja penting, ia akan berperan besar dalam kehidupan pernikahan, tidak sekadar pada proses relasi antarmanusia yang saling melindungi.

Dengan memegang teguh agama, melalui jalan religiositas, dapat menjadi faktor utama yang amat menentukan kualitas pernikahan. Tingkat religiositas memiliki peranan penting dalam pernikahan sebab dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan.

Konon, jodoh adalah cerminan diri kita. Setidaknya Al-Qur’an telah memberi isyarat, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji. Sedangkan perempuan- perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur: 26).

Jadi, jika kita mendamba pasangan yang baik, maka sedapat mungkin perbaiki diri untuk menjadi baik. Pantaskan diri untuk menjadi manusia baik agar Allah mengirimkan manusia baik yang pantas. Bukankah orang-orang baik akan mendekat kepada orang-orang baik pula?

Idealnya, pasangan itu adalah yang dapat memenuhi kriteria sempurna seperti yang diidam-idamkan oleh setiap orang. Tetapi, dalam kenyatannya, tidak setiap manusia mampu tampil menjadi pribadi yang sempurna. Selalu saja timbul kekurangan. Jika tetap berharap kepada kesempurnaan, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi.

Pertama, kita akan senantiasa kecewa sebab tidak akan pernah menemukan. Pada akhirnya, kita akan menghabiskan usia hanya untuk sesuatu yang umumnya dibenci banyak orang: menunggu. Pepatah mengatakan, laksana pungguk yang merindukan ulan.

Kedua, kemungkinan kita sedang terlelap dan mimpi indah. Maka bangunlah! Apa bagusnya hidup diantara mimpi-mimpi yang mustahil dicapai. Sepertinya akan lebih baik jika merapikan cita-cita dan harapan.

Orang boleh mengatakan bahwa kita harus memupuk mimpi setinggi langit. Tapi kita juga boleh mempertimbangkan perihal realitas. Nyatanya, kehidupan nyata tidak dihidupi oleh impian-impian kosong yang mustahil dijangkau. Jangan terlalu menyibukkan diri dengan angan-angan. Jaga upaya untuk memperbaiki dan memantaskan diri.