Salah satu permasalahan kesehatan, terutama masalah gizi, yang dialami oleh balita di
dunia adalah stunting atau kejadian balita pendek. Stunting adalah masalah gizi kronis pada
balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak
seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika
dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif.
Dampak stunting tidak hanya pada segi
kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Pada tahun 2017 sebanyak 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka
stunting pada tahun 2000, yaitu 32,6%.
Berdasarkan data WHO, Indonesia termasuk dalam
negara ke-tiga dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Data menunjukkan rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi
29,6% pada tahun 2017. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8% dan menurun menjadi 35,6% di tahun
2010 (1). Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017
adalah 9,8% dan 19,8%.
Stunting (kerdil) merupakan kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi
badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO.
Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti
kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi.
Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di
bawah 20 tahun), dimana hal tersebut berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.
Kondisi ibu sebelum
masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu
dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat
menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.
Sedangkan dari sisi pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan
keamanan pangan yang diberikan.
Anemia kehamilan juga beresiko pada kejadian stunting. Kondisi anemia kehamilan
berkaitan dengan usia gestasi yang rendah, BBLR, serta meningkatnya resiko lahir kecil untuk
usia gestasinya. Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan faktor yang diketahui terkait
dengan kematian neonatal dan morbiditas dan telah memberikan kontribusi untuk berbagai
hasil kesehatan yang buruk bagi bayi serta anak dan akan berdampak jangka panjang terhadap
gizi dan kehidupan selanjutnya.
Disebutkan pula rendahnya kadar Hb pada kehamilan berhubungan dengan panjang bayi lahir. Hal ini beresiko pada kejadian stunting pada bayi dan
balita.
Beberapa program pemerintah telah digalakkan terkait pencegahan stunting di Indonesia.
Namun tetap diperlukan sinergisitas dari berbagai pihak guna mendukung program pemerintah
tersebut. Sinergisitas antara tenaga kesehatan dengan organisasi perempuan yang juga berfokus
dalam pencegahan stunting diperlukan. Salah satunya dengan Nasyiatul Aisyiyah dan
Aisyiyah.
Pencegahan stunting telah menjadi salah satu program dari Pimpinan Pusat Nasyiatul
Aisyiyah, yang kemudian akan diturunkan pada Pimpinan Wilayah Nasyiatul
Aisyiyah. Bahkan kemudian dilanjutkan oleh Pimpinan Daerah, Cabang, dan Ranting Nasyiatul Aisyiyah. Pencegahan stunting yang menjadi salah satu program kerja diharapkan juga membuka ruang untuk bersinergi dengan pihak-pihak lain.
Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur sejak awal turut ambil bagian dalam upaya mencegahan dan pemberantasan stunting. Program-program yang dijalankan antara lain berupa workshop, pendampingan, hingga bantuan bagi para penderita stunting melalui program Sedekah untuk Stunting.