Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu yang paling sulit untuk dipahami sekaligus paling bermuatan emosi. Ini adalah isu yang paling personal, sekaligus paling politis juga. kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian serius dari gerakan hak perempuan pada era reformasi hingga kini. Keseriusan perhatian terhadap isu KDRT ini didorong oleh kenyataan bahwa kekerasan apapun bentuk dan derajat keseriusannya dapat terjadi di dalam rumah. Orang yang dianggap dapat menjadi tempat berlindung ternyata justru menjadi penyebab malapetaka.
Kenyataan seperti ini membantah anggapan umum masyarakat bahwa “lingkungan di luar rumah lebih berbahaya dari pada lingkungan di dalam rumah”. Anggapan umum ini terbentuk oleh banyaknya pengungkapan dan publikasi kejahatan yang terjadi di luar lingkungan rumah, padahal lingkungan di dalam rumah tidak lagi secara otomatis merupakan tempat yang aman bagi anggota keluarga dan orang-orang yang tinggal di dalamnya untuk dapat berinteraksi dengan landasan kasih sayang, saling menghargai dan menghormati. Sayangnya, masyarakat tidak menduga bahwa ternyata rumah dapat menjadi tempat yang paling mengerikan bagi anggota keluarga.
Kekerasan terhadap anak tidak kalah pentingnya untuk diperbincangkan. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara, agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara. Setiap anak perlu mendapat perlindungan dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif.
Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak.
Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas, sehingga berdasarkan paradigma tersebut maka UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku ± (kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami.
Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang yang kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak. Konsep kekerasan dalam hal ini adalah kekerasan fisik yang sering terjadi di masyarakat terutama terjadi pada perempuan. Kekerasan fisik sendiri merupakan bentuk gerakan fisik manusia untuk menyakiti tubuh dan merusak harta orang lain.
Dampak kekerasan fisik bukan hanya berbentuk memar-memar atau yang terlihat oleh kasat mata, tetapi juga dampak psikis yang dapat mengakibatkan korban mengalami traumatik. Dalam konsep kekerasan itu sendiri terdapat 4 kategori, yaitu kekerasan fisik, kekerasan simbolik, kekerasan birokratik, dan kekerasan struktural.
Sedangkan, budaya yang ada di masyarakat cenderung pasif dalam melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangganya. Perempuan atau anak yang menjadi korban KDRT lebih memilih diam, tidak melaporkan karena malu dan takut terjadi dampak negatif atas tindakan laporannya tersebut. Ketergantungan ekonomi juga menyebabkan korban memilih membenamkan peristiwa yang dialaminya itu. Sehingga laporan sering terhenti di tengah jalan karena keinginan korban. Masyarakat di lingkungan masingmasingpun kurang proaktif melaporkan terjadinya KDRT, padahal tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan persoalan individu saja tetapi sudah menjadi persoalan bangsa, mengingat dampaknya yang sangat buruk bagi korban, bukan saja secara fisik tetapi juga secara psikis.
Maka dari itu, Nasyiatul Aisyiyah yang telah memproklamasikan diri sebagai gerakan ramah perempuan dan anak, merasa terpanggil untuk turut ambil bagian dalam upaya menanggulangi praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini bukan saja mengenai panggilan moral, lebih dari itu, ada dimensi-dimensi yang melingkupi panggilan ini seperti sosial dan lebih-lebih panggilan spiritual.