Ketangguhan, Cahaya, dan Cita-cita: Refleksi Milad ke-94 Nasyiatul Aisyiyah

Milad ke-94 | 97 Nasyiatul Aisyiyah

Sebuah studi longitudinal UNESCO (2022) menyoroti bagaimana literasi bukan lagi sekadar kemampuan membaca dan menulis—melainkan telah menjadi elemen kunci dalam membangun masyarakat tangguh dan berdaya saing. Dalam situasi masyarakat yang tercerahkan, literasi berperan sebagai fondasi bagi pemahaman lintas bidang—dari kesadaran lingkungan hingga partisipasi sosial yang inklusif. Literasi, dalam pengertian luas, adalah alat untuk memahami dunia, menafsirkan pengalaman, sekaligus merumuskan tindakan yang berdampak. Uniknya, kajian PISA (2022) menyebut bahwa perempuan lebih unggul pada tiga keterampilan literasi dasar—baca-tulis, numerasi, dan sains dibanding laki-laki.

Pada 2025 ini, Nasyiatul Aisyiyah, organisasi perempuan muda Muhammadiyah, genap berusia 94 tahun. Mengusung tema “Perempuan Tangguh Cerahkan Peradaban”, amat terasa gairah Nasyiatul Aisyiyah untuk menjawab tantangan peradaban kontemporer. Kita hidup di tengah zaman yang penuh turbulensi: krisis iklim, kemiskinan struktural, ketimpangan digital, bahkan gelombang disinformasi yang membanjiri ruang publik. Dalam lanskap seperti ini, ketangguhan bukan hanya tentang daya tahan mental, tetapi juga kecakapan literasi, kemampuan beradaptasi, hingga kesanggupan merawat nalar sehat di tengah gempuran narasi yang menyesatkan.

Sejak didirikan pada tahun 1931, Nasyiatul Aisyiyah telah menapaki jalan panjang dalam kerja-kerja pemberdayaan dan penyadaran sosial. Organisasi ini menjadi simpul penting dalam sejarah gerakan perempuan muda Islam di Indonesia—mengembangkan pendidikan alternatif, membuka ruang baca, menyelenggarakan sekolah ibu, hingga menjadi pelopor advokasi isu-isu kesehatan dan gizi di tengah masyarakat. Kiprah itu menyatu dalam denyut nadi kehidupan masyarakat, acap kali dalam bentuk yang tidak kasat mata: seorang kader yang mengajar mengaji anak-anak sembari menanamkan nilai kebersihan; seorang relawan yang membuka lapak baca di pekarangan rumahnya; atau pengelola komunitas yang mengajarkan keterampilan digital kepada remaja perempuan di desa.

Namun refleksi ulang tetap diperlukan. Bukan untuk meragukan capaian yang telah tercatat, melainkan agar langkah ke depan lebih tajam dan terarah. Bahwa di tengah spirit kemandirian dan sorai gerakan, terdapat realitas sosial yang menuntut perhatian serius. Ketimpangan akses terhadap informasi dan pendidikan, terutama di wilayah-wilayah tertinggal, masih menjadi problem nyata. Di sinilah pentingnya menjadikan literasi—baik literasi dasar, literasi digital, maupun literasi kritis—sebagai strategi utama dalam misi mencerahkan peradaban.

Ketika seseorang memiliki akses terhadap pengetahuan yang relevan dan kemampuan untuk memahami serta menafsirkan dunia sekitarnya, ia tidak hanya menjadi subjek pembangunan, tetapi juga pelaku transformasi sosial. Literasi menjadi jembatan antara keimanan dan kemajuan, antara warisan nilai dengan tantangan zaman. Bagi Nasyiatul Aisyiyah, memperkuat keterampilan literasi berarti memperkuat daya hidup umat: dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat.

Ketangguhan yang disebut dalam tema milad tahun ini tidak boleh dimaknai dalam kerangka individual semata. Kita tidak sedang mempromosikan gagasan bahwa perempuan—atau siapa pun—harus kuat sendirian menghadapi beban hidup. Ketangguhan sejati lahir dari ekosistem sosial yang saling mendukung: keluarga yang menghargai dialog, masyarakat yang membuka ruang partisipasi, dan negara yang berpihak pada pemberdayaan warganya melalui kebijakan yang adil dan beradab.
Kerja-kerja Nasyiatul Aisyiyah menjadi penting bukan karena keistimewaannya, tetapi karena keberadaannya yang kontekstual dan konsisten. Gerakan ini harus hadir di antara masyarakat—dan bukan di atas mereka. Ia membangun dari bawah, bukan memaksakan dari atas. Gerakan literasi dan pencerahan yang dikembangkan bukanlah proyek elitis, melainkan bagian dari ikhtiar bersama untuk menyusun kembali harapan di tengah kehidupan yang kadang terasa riuh dan rapuh.

Pencerahan peradaban, sebagaimana kerap digaungkan dalam khazanah Muhammadiyah, bukan perkara simbolik atau kosmetik. Gerakan ini lahir dari proses panjang penyadaran, pendidikan, dan perjuangan. Dalam wajah dunia yang berubah cepat—dari revolusi industri digital hingga pergeseran nilai dalam masyarakat urban—upaya menciptakan masyarakat berilmu, beradab, dan berdaya adalah jihad intelektual dan sosial yang tidak bisa ditunda.

Nasyiatul Aisyiyah, sebagai bagian dari gerakan perempuan muda Islam di Indonesia, berada dalam posisi strategis untuk mengorkestrasi misi ini. Tidak dengan semangat menyaingi atau menonjolkan diri, tetapi dengan kesadaran bahwa setiap langkah kecil yang dilakukan dengan ilmu, nilai, dan cinta, akan memberi gema yang panjang dalam sejarah bangsa. Sebab peradaban tidak dibangun dari gedung tinggi, tetapi dari pikiran-pikiran yang tercerahkan. Ia tidak lahir dari gelar dan kekuasaan, melainkan upaya kecil yang konsisten dan menciptakan resonansi ke mana-mana: membaca buku bersama anak-anak, membuka ruang dialog di komunitas, dan menjaga agar nalar tetap sehat dalam gelombang opini yang gaduh. Itulah ketangguhan sejati. Dan dari ketangguhan itulah cahaya peradaban bermula. Selamat milad, Nasyiahku.

Hervina Emzulia
Ketua Departemen Pustaka, Informasi, dan Teknologi Digital PWNA Jawa Timur