Ada
yang menarik pada Pelatihan Dasar Paralegal PWNA Jawa Timur yang dilaksanakan secara
virtual, 8-17 Januari 2022. Di Hari ke-3 ini, Peserta diajak untuk langsung
menganalisa bentuk-bentuk, pelaku hinga dampak kekerasan yang ada pada film “Duka
di Kali Garing”.
Dalam
film tersebut diceritakan sebuah keluarga kecil dengan 3 orang anak yang hidup di
sebuah desa terpencil. Keluarga kecil tersebut melewati kehidupannya yang serba
kekurangan. Film diawali dari percakapan seorang suami di keluarga tersebut
yang mempermasalahkan kehamilan istrinya. Hal tersebut dikarenakan kehamilan
tersebut tidak diinginkan, mengingat ke3 anaknya masih dalam kondisi
kekurangan.
Bahkan
salah satu anak laki-lakinya bermaksud untuk berhenti sekolah karena tunggakan
SPP yang tak kunjung terbayarkan. Bahkan anak laki-laki tersebut mengalami keputus
asaan lantaran selalu di tagih dan direndahkan oleh kepala sekolahnya. Belakangan
diketahui biaya subsidi sekolah tak diberikan seluruhnya oleh pejabat terkait.
Di
suatu malam, anak perempuan pasangan suami istri tersebut mengalami demam yang
sangat tinggi hinga kejang. Mantri desa tersebut menyebutkan kemungkinan sang
anak mengalami demam berdarah sehingga harus langsung dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat. Namun sesampainya di faskes, sang anak tidak mendapatkan
pelayanan sebagaimana mestinya. Keluarga harus menyelesaikan sejumlah biaya
agar anak tersebut dapat ditangani. Bahkan pengurusan kartu faskes pun
nampaknya dipersulit.
Keterbatasan
biaya menyebabkan sang ayah terpaksa berhutang pada sebuah koperasi. Namun tak
semudah yang dikira, masalah tersebut menimbulkan masalah-masalah lain. Mulai dari
syarat pengajuan dana dimana sang ayah harus membayar biaya administrasi di
awal hingga bunga pinjaman yang cukup tinggi. Dan pada akhirnya anak perempuan tersebut
tak dapat diselamatkan diakibatkan terlambatnya penanganan faskes.
Di
waktu lain, sang istri yang tengah hamil besar mencuci pakaian di sungai. Disanapun
ia tak luput dari gunjingan para tetangga karena kehamilanya tersebut. kejadian
tak diinginkan terjadi saat perjalanan pulang dari sungai. Kondisi jalan yang rusak
berat menyebabkan sang istri yang ketika itu di bonceng sepeda oleh tetanganya terjatuh
dan mengalami pendarahan. Singkat cerita sang istri tak bisa diselamatkan. Dan semenjak
kepergian sang istri, anak-anakpun semakin kehilangan kontrol sosial karena
minimnya pendidikan karakter yang didapat dari orang tuanya.
Ketua Departemen Sosial
Dede Dwi Kurniasih menyebutkan setidaknya ada 6 jenis kekerasan yang terjadi
disekitar kita. Yaitu Kekerasan Psikis ialah tindakan
atau perbuatan yang dapat mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya (UU No.23 tahun
2004). Kekerasan Psikis termasuk manipulasi perasaan, posesif dan intimidasi.
Kemudian
Kekerasan Fisik ialah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat yang dilakukan dengan atau tanpa alat (UU No.23 tahun 2004).
Kekerasan fisik termasuk pemukulan, penyiksaan dan penganiayaan.
Kekerasan
Ekonomi, perbuatan mengontrol kemampuan untuk mendapatkan,
menggunakan, dan mempertahankan sumber daya, sampai mengancam ekonomi serta
potensi seseorang untuk mandiri (Alvi Awwaliya,2020). Kekerasan ekonomi
termasuk pemerasan, kontrol terhadap ekonomi, dan sabotase pekerjaan.
Kekerasan
Verbal, perbuatan melakukan perundungan, menghina,
merendahkan, mengancam, candaan seksis yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung.
Serta
Kekerasan Seksual Siber, perbuatan mengancam, menguntit dan menyebarkan
data pribadi di ranah digital dengan tujuan mengambil keuntungan, mengontrol
orang lain, memeras, menghina dan mempermalukan orang lain. Termasuk dalam
kekerasan digital adalah Non Consensual Dissemination of Intimate Images,
Pemerasan Seksual, Image Based Sexual Abuse, Pencurian dan penggunaan data
pribadi seperti alamat rumah dan identitas pribadi lainnya.
Dede
menambahkan kekerasan tersebut bisa terjadi karena disebabkan oleh berbagai
faktor yaitu budaya patriarkhi, tafsir yang mendukung kekerasan, kebijakan
politik hingga kebiasaan.
“faktor
penyebab terjadinya tindak kekerasan yaitu budaya patriarkhi yang menganggap
laki-laki lebih hebat dari perempuan misalnya. Kemudian tafsir yang mendukung
yaitu interpretasi terhadap teks yang belum menyeluruh. Kebijakan politik juga
tak luput menjadi salah satu penyebabnya, misalnya fasilitas publik yang tidak
ramah perempuan, pembatasan sosial dan lain sebagainya. Kemudian pastinya
kebiasaan yang menganggap kejadian tersebut bukan urusan publik”. Ujarnya.
Dalam
film “Duka di kali Garing”, peserta juga diminta menganalisis dampak kekerasan
terhadap perempuan. Menurut Dede, banyak sekali dampak buruk yang terjadi dari
kejadian tersebut. mulai dari dampak secara fisik, psikologis, seksual,
ekonomi, sosial, sipil politik dan hukum.
“kekerasan
terhadap perempuan sangat banyak sekali dampaknya. Sakit secara fisik dan
psikologis menjadi hal yang lebih sering terjadi. Lebih buruknya jika hal
tersebut berakibat pada permaslahan yang lebih luar dalam hal ini anak-anak
sebagai saksi nyata dalam lingkup keluarga”. Tuturnya.